Laman

Minggu, 17 November 2013

ASAL MULA DUKUH SEMANGKON


Oleh : Mohammad Amin Ramadhan *)

Masing-masing daerah, entah itu dukuhan, desa, kecamatan, kabupaten, bahkan provinsi sekali pun, pastilah mempunyai riwayat/sejarah sendiri-sendiri. Termasuk salah satu yang akan saya ceritakan di sini adalah Asal Mula Dukuh Semangkon. Cerita ini saya dapatkan dari salah satu penduduk di dukuhan tersebut yang tidan mau disebut namanya. Tentang kebenaran cerita ini, saya sendiri tidak tahu. Namun, yang beredar di masyarakat di sekitar desa tersebut mempercayai hal ini. Berikut ini adalah ceritanya.
Dukuh Semangkon terletak di Desa Tempaling Kecamatan Pamotan Kabupaten Rembang. Dahulu kala di tempat itu hiduplah keluarga petani. Di musim kemarau mereka selalu menanam buah Semangka. Lahan yang ada di dukuh ini sangat cocok ditanam Semangka daripada tanaman yang lain karena di sini sebagian besar adalah tanah tadah hujan, yang artinya hanya ada airnya jika musim penghujan tiba.
Seperti biasanya musim kemarau pun tiba. Petani tersebut mengolah tanahnya untuk ditanami semangka. Semangka tumbuh dengan subur. Beberapa bulan kemudian buahnya siap dipanen. Mereka menyiapkan pedati dan karung untuk memanen semangka. Esok harinya yang sudah ditentukan, pagi-pagi sekali mereka sudah sampai di ladang Semangka mereka. Alangkah terkejutnya mereke, ladang Semangka mereka telah rusak. Buah-buah bertebaran di mana-mana dalam keadaan menyedihkan. Gagallah mereka memanen semangka. Keuntungan yang sudah di depan mata lenyap seketika. Siapa gerangan yang tega berbuat ini di ladang mereka? Mereka hanya bias bertanya dalam hati. Tidak ada bukti yang bias menunjukkan pelakunya. Kalau memang mereka pencuri biasa, tentu akan diambil semua tak aka n ada yang tersisa. Namun, ini banyak sekali buah semangka yang rusak da ditinggalkan begitu saja. Sungguh aneh sekali, pikirnya.
Mereka tak putus asa dengan kejadian tersebut. Musim kemarau berikutnya mereka kembali menanam Semangka dengan harapan tidak aka nada kejadian lagi seperti tahun kemarin. Kali ini untuk mengantisipasi kejadian tahun lalu, ketika musim panen hendak tiba, mereka menjaganya siang dan malam. Selain itu, mereka juga ingin mengetahui siapa gerangan yang telah merusak tanaman semangka pada tahun yang lalu. Mereka tidak ingin kecolongan lagi dengan  cara lebih memperketat penjagaan.
Dengan ketekunan dan tidak kenal lelah serta kejelian yang luar biasa, mereka mengamati setiap hal yang dirasa mencurigakan. Perkembangan dan pertumbuhan tanaman semangka diamati dengan teliti. Dari buahnya yang dulu kecil hingga membesar selalu mereka pantau.
Pada suatu hari di saat buah Semangka sudah mulai membesar, mereka kaget luar biasa dengan munculnya beberapa ekor kadal yang besar dan merayap dari dalam buah Semangka. Begitu tahu kalau ada orang yang memperhatikan, kadal-kadal itu segera lari dan melompat di antara buah semangka yang lain. Lenyaplah kadal-kadal besar itu dari hadapan mereka.
Esok harinya mereka menjumpai hal itu berulang dan ketika di kejar kadal-kadal itu lenyap dan menghilang lagi dengan cepat. Jumlahnya pun semakin banyak dari hari ke hari. Hal ini dimungkinkan karena buah Semangka semakin tua dan mendekati musim panen. Dari kejadian itu dan buah Semangka yang rusak cirri-cirinya sama seperti tahun lalu, petani akhirnya mengetahui bahwa selama ini yang memakan dan merusak buah Semangka mereka adalah hewan sejenis kadal. Orang desa itu menyebutnya “Blunkon” atau “Bunglon”. Blungkon adalah hewan sejenis reptile yang bias mengubah warna kulitnya sesuai dengan lingkungan yang ditempati (mimikri).
Segera penduduk desa memutar otak bagaimana caranya untuk bisa menangkap bunglon-bunglon yang berjumlah ratusan bahkan ribuan itu. Ini harus dilakukan oleh penduduk desa, kalau tanaman buah Semangka mereka ingin aman dan mereka dapat menikmati hasil panen buah Semangka. Ternyata tidaklah mudah menangkap hewan-hewan ini. Tentu saja karena binatang ini dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Ditambah lagi di daerah itu banyak sekali batang-batang bamboo yang menjadi istana bagi hewan-hewan jenis ini.
Dengan kerja keras dan tak kenal menyerah, akhirnya warga desa dapat membasmi bunglon-bunglon yang telah memporak-porandakan buah Semangka mereka. Mereka memajatkan puji syukur kehadirat Tuhan karena telah terbebas dari hama bunglon yang menyerang tanaman buah Semangka mereka.
Tokoh masyarakat setempat dari desa itu akhirnya berkata kepada warga desa di situ, “Untuk mengingat-ingat peristiwa ini, besok kalau ada keramaian di wilayah ini, maka wilayah ini kita beri nama ‘Semangkon’ yang berasal dari kata ‘Semangka’ dan ‘Blungkon’. Mari kita rayakan keberhasilan kita membasmi hama yang meresahkan desa ini.”
Demikianlah asal mula pemberian nama Pedukuhan Semangkon yang terletak di Desa Tempaling Kecamatan Pamotan Kabupaten Rembang.

*) Penulis adalah siswa kelas VIII H SMP Negeri 1 Lasem.

LEGENDA PEDUKUHAN BENDAN (DESA SENDANG ASRI)


Oleh : Edy Sugiyanto

Pada zaman dahulu di tengah-tengah hutan belantara yang ditumbuhi banyak pepohonan, ada sebuah telaga kecil yang airnya sangat jernih. Begitu jernihnya ikan dan apa-apa yang terdapat di dasar telaga itu begitu jelas terlihat oleh mata yang memandang dan orang-orang yang melihat akan berdecak kagum melihatnya. Sayang, belum banyak orang yang tahu tempat itu. Beredar kabar dari orang-orang di sekitar hutan itu, tempat di mana telaga itu berada terkenal sangat angker.  Meskipun terkenal angker, orang-orang di sekitar desa setempat sering menggunakan telaga itu untuk mencuci pakaian dan juga untuk mandi.
Pada suatu hari, ada seorang perempuan muda yang sedang mencuci pakaian. Perempuan muda itu sering dipaggil Sri. Entah mengapa dan tidak biasanya ia pergi ke telaga itu sendirian. Biasanya yang datang ke telaga itu untuk mencuci beramai-ramai.  Entah datangnya dari mana, tiba-tiba di dekat pohon yang besar persis di belakang perempuan itu muncullah seorang lelaki tua yang berambut serba putih, berambut panjang, dan berjenggot panjang. Ia mengenakan pakaian serba putih.  Jelas saja perempuan yang bernama Sri itu terkejut bukan main. Dalam terkejut dan rasa agak takutnya itu, ia beranikan diri untuk bertanya kepada orang tua berjenggot panjang itu.
“Simbah ini siapa? Kok  tiba-tiba ada di tempat ini mengagetkan saya?” Tanya perempuan itu.
Orang tua berjenggot panjang serba putih itu tertawa, “ Ha, ha, ha. Ketahuilah, nduk. Aku ini penunggu telaga ini. Aku lah yang sering dipanggil Mbah Jenggot. Ha, ha, ha.”
Setelah menjawab pertanyaan perempuan itu, orang tua itu langsung menghilang. Tentu saja hal itu semakin membuat takut perempuan muda itu. Bergegas saja ia mengambil cuciannya yang belum selesai dan berlari meninggalkan telaga itu.
Sesampainya di pekarangan rumah, ia bertemu dengan orang-orang di desanya. Dengan nafas tersenggal-senggal bak dikejar harimau, ia menceritakan apa yang telah dialaminya di telaga tempat mencuci pakaian warga sekitar hutan itu. Mendengar cerita itu orang-orang terutama perempuan-perempuan di desa itu menjadi semakin takut untuk mencuci lagi ke telaga itu. Padahal telaga itu adalah satu-satunya tumpuan orang-orang di sekitar desa itu untuk melakukan aktivitas pekerjaan sehari-hari, terutama untuk mencuci pakaian.
Namun, ada seseorang yang tidak percaya sama sekali apa yang diceritakan perempuan yang bernama Sri itu. Pemuda itu tidak akan percaya kalau dirinya tidak membuktikan sendiri kebenaran cerita perempuan tadi. Akhirnya ia berencana untuk membuktikan kebenaran cerita tentang orang tua berjenggot panjang yang diceritakan oleh Sri.
Ketika hari menjelang magrib, pemuda itu berangkat menuju telaga di tengah hutan yang tidak begitu jauh dari desa itu. Ia berangkat sendirian. Sesampai di telaga itu ia langsung melepaskan pakaiannya dan terjun ke telaga itu untuk mandi. Tidak berapa lama kemudian, angin bertiup kencang. Bersamaan itu pula muncullah orang tua berpakaian putih berjenggot panjang. Seketika itu pula lelaki yang mandi di telaga itu langsung pingsan. Ia terbangun keesokan harinya, dan baru lah percaya bahwa yang dikatakan perempuan muda di desanya itu memang benar. Barulah ia mempercayai bahwa telaga itu memang angker.
Apa yang telah dialaminya diceritakan pula kepada orang-orang desa. Oleh masyarakat di desa itu telaga yang airnya jernih (bening) yang di kelilingi oleh pepohonan dan tumbuh-tumbuhan terlihat begitu “asri” yang ada di sekitar hutan dekat desa itu, mereka menamainya “Sendang Asri” yang berasal dari kata “sendang” yang berarti “telaga yang jernih airnya” dan kata “Asri” karena di sekitar sendang itu banyak pepohonan dan tumbuhan sehingga menimbulkan skesan asri.
Di dekat telaga terdapat pepohonan besar tempat munculnya mbah Jenggot ketika menemui perempuan yang bernama Sri, terdapat sebuah sumur. Oleh salah satu warga masyarakat di sekitar tempat itu yang bernama Pak Timbul, sumur itu diberi nama “Bendo”. Perlu diketahui sumur itu tidak pernah kering meskipun pada musim kemarau meskipun airnya diambil terus setiap harinya.
Pada suatu hari ada seseorang dari bangsa China yang merantau dan tersesat di sekitar tempat itu. Karena merasa badannya sudah kotor dan berkeringat, lelaki asal China itu berniat mandi di sumur itu. Kebetulan pak Timbul ketika itu sedang berada di situ.
Lelaki China itu berrtanya kepada Pak Timbul, “Sumur apa ini, Pak?”
“ O sumur ini ya, Mr. Orang-orang di desa ini menamai sumur ini Bendo” jawab Pak Timbul.
“Apa? Sumur Bendan?” Tanya lelaki China itu sekali lagi.
“Bukan. Ini sumur Bendo”, Pak Timbul berusaha membetulkan.
Karena lelaki China itu tidak dapat mengucapkan “bendo”, maka timbullah perselisihan kata antara kata “bendo” dan “bendan”. Akhirnya, oleh penduduk setempat berdasarkan kejadian perselisihan nama tersebut, orang-orang lebih enak mengucapkan nama “bendan” sehingga dukuhan itu lebih dikenal dengan dukuh Bendan.
Demikianlah sekelumit asal-usul dukuh Bendan dan Desa Sendang Asri. Karena keduanya sangat berhubungan erat.

ASAL MULA DESA KAUMAN KECAMATAN LASEM


Oleh : Devie Indriyani *)

Menelusuri legenda tentang terjadinya suatu tempat, salah satu caranya adalah dengan meminta penjelasan dari para orang tua, kakek-nenek, sesepuh desa atau pun tokoh masyarakat yang paling tidak sudah berdomisili lama di tempat itu. Namun, tentang kebenarannya belum dapat kita percaya seratus persen.
Cerita yang berkembang di masyarakat pun sering kali sudah dibumbui dengan cerita-cerita tambahan, entah benar dan tidaknya. Bagaimana juga tidak ada seorang pun yang tahu persis kejadian sebenarnya. Kita hanya dapat menerima cerita itu turun-temurun dan cerita yang berkembang di masyarakat. Percaya atau tidak, ini hanyalah sebuah dongeng dari mulut ke mulut. Berikut salah satunya tentang dongeng lengenda yang berkembang di sekitar masyarakat desa Kauman Kecamatan Lasem. Berikut ini kisahnya.
Dahulu kala terdapat sekelompok orang yang menghuni hutan. Orang-orang ini merasa tidak nyaman setiap harinya dikarenakan ketentraman mereka selalu diganggu oleh binatang-binatang, para budi srani, dan penunggu lainnya.
Pada suatu hari mereka mengadakan musyawarah yang dipimpin oleh Eyang Dullah Srengat. Musyawarah tersebut dilakukan dalam rangka untuk mengadakan perlawanan kepada penunggu hutan. Perlawanan tersebut mereka lakukan dengan cara menebang sebuah pohon yang merupakan tempat persembunyian para pengganggu kehidupan mereka.
Pada hari yang telah ditentukan, berangkatlah Eyang Dullah Srengat bersama teman-temannya untuk mengadakan perlawanan dengan penunggu hutan itu. Namun, dalam beberapa kali penyerangan, Eyang Dullah Srengat mengalami beberapa hambatan sehingga penaklukan kepada penunggu hutan belum membuahkan hasil.
Pada suatu hari ada muncullah seseorang yang berasal dari Klaten yang bernama Eyang Amir Mahmud. Kedatangan Eyang Amir Mahmud sebenarnya adalah ingin menemui Raden Betoro Katong. Namun, belum sempat bertemu dengan Raden Betoro Katong, Amir Mahmud bertemu dengan Eyang Dullah Srengat dan beberapa penduduk di wilayah hutan itu.
“Kalau boleh tahu, kisanak ini siapa?” tanya Eyang Dullah Srengat.
“Perkenalkan, saya Amir Mahmud dari Klaten. Tujuan saya kemari ingin menemui Raden Betoro Katong.” Jawab Eyang Amir Mahmud.
Melihat penampilan Eyang Amir Mahmud, Eyang Dullah Srengat yakin bahwa beliau adalah orang yang mempunyai kemampuan lebih. Hal ini tergambar jelas dari pakaian yang dikenakan Eyang Amir Mahmud dan tata bahasa yang digunakannya menunjukkan bahwa orang yang ada di hadapannya bukanlah orang yang sembarangan. Maka langsung saja Eyang Dullah Srengat meminta bantuan kepada Eyang Amir Mahmud.
“Kalau tidak berkeberatan, saya dan warga di sini mengharapkan agar Kinasak berkenan membantu usaha kami untuk mengusir dan menaklukkan penghuni hutan yang meresahkan warga kampong di sini.” Pinta Eyang Dullah Srengat.
“Saya adalah orang biasa sama dengan kalian semua. Namun, saya akan berusaha membantu sekuat tenaga saya untuk melumpuhkan para penunggu hutan di sini.” Jawab Eyang Amir Mahmud berusaha merendahkan diri.
Akhirnya, dalam penyerangan kali ini Eyang Dullah Srengat yang dibantu Eyang Amir Mahmud berhasil membakar pohon yang menjadi tempat persembunyian para penunggu hutan. Mereka melakukannya dengan menggunakan cara tradisional yaitu dengan menggesek-gesekkan batu lintang ke pohon yang telah dilingkari dengan bunga alang-alang. Gesekan batu lintang ke pohon menimbulkan percikan api dan membakar bunga alang-alang tersebut.  Api yang semula kecil menjadi semakin besar dan membesar sehingga pohon besar tempat persembunyian makhluk halus penunggu hutan itu lambat laun tumbang. Guncangan hebat dan suara yang begitu dahsyatnya menyertai tumbangnya pohon besar itu. Bumi pun bergetar hebat. Bersamaan itu pula muncul seorang pertapa ngalong bernama Ki Bekel Wiryo Dikromo Niti atau yang biasa dipanggil dengan sebutan Mbah Solo (yang sekarang di makamkan di Kedung Pawon).
Sama halnya dengan Eyang Amir Mahmud, maka Ki Bekel Wiryo Dikromo Niti juga sangat berperan dan berjasa turut membantu menaklukkan makhluk halus penunggu hutan itu. Berkat kesaktian mereka, akhirnya kawasan hutan berhasil ditaklukkan dan kini masyarakat sudah tidak takut lagi dihantui oleh baying-bayang penunggu hutan itu.
Walaupun kawasan hutan telah ditaklukkan tetapi mereka tidak akan mengganggu kawula penghuni hutan. Ini artinya hutan tetap dalam keadaan aman sebagaimana yang telah diucapkan oleh Eyang Amir Mahmud ketika menancapkan tongkat (teken) di dekat pohon yang tumbang itu sebagai tanda telukan.
Di sisi lain Eyang Dullah Srengat tetap meminta supaya kehidupannya di dalam hutan tidak diganggu oleh kawula hutan. Pembicaraan kedua orang itu disaksikan oleh Ki Bekel Wiryo Dikromo Niti. Maka atas permintaan kedua orang tersebut, Ki Bekel Wiryo dikromo Niti berkata.
“Hutan telukan ini adalah laladan kawulo aman. “

Dalam perkembangannya kawasan hutan taklukan dari eyang Dullah Srengat, Amir Mahmud dan Ki Bekel Wiryo Dikromo Niti telah menjadi daerah yang maju dan berkembang dengan pesat. Sehingga terbentuklah suatu pemerintahan dengan nama “Kauman” yang berasal dari istilah “Kawulo Slamet Aman”.
Demikianlah kisah singkat terjadinya Desa Kauman yang sekarang menjadi desa yang maju, masyarakatnya pun modern dan berpola pikir modern.

................................................................selesai ........................................................................


 *) Penulis adalah salah satu siswi kelas VIII F di SMP Negeri 1 Lasem. Karya "Asal Mula Desa Kauman Kecamatan Lasem" terpilih sebagai salah satu karya terbaik kedua untuk kategori Putri pada ajang Lomba Menulis Cerita Rakyat Daerah Kabupaten Rembang yang diselenggarakan oleh Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Rembang.